SIRS dan SEPSIS


SIRS dan SEPSIS
A.    DEFENISI SIRS DAN SEPSIS
SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :
·          demam (suhu tubuh > 38  oC) atau hipotermia (< 36 oC)
·         takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
·         takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit)
·         leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit < 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.
SIRS merupakan respon sistemik yang disebabkan oleh aktifitas sistim inflamasi penderita yang mengakibatkan kerusakan organ yang bervariasi dan luas serta berhubungan dengan berbagai kondisi klinik. Selain infeksi, penyebab lain SIRS meliputi pankreatitis, iskemia, perdarahan, syok, kerusakan organ yang diperantarai oleh reaksi imun, luka bakar. Tidak semua pasien infeksi berkembang menjadi sepsis, dan terdapat perkembangan dari infeksi yang bersifat lokal menjadi bakterimia, kemudian sepsis, dan selanjutnya syok septik.
Sepsis merupakan kumpulan gejala klinis sebagai respon inflamasi secara sistemik ( systemic inflamatory response syndrome/ SIRS) akibat adanya infeksi oleh bakteri,virus, jamur, protozoa dll.
Sepsis berat adalah sepsis yang dihubungkan dengan disfungsi organ – organ, hipoperfusi, atau hipotensi sementara syok septik adalah sepsis yang menginduksi hipotensi terkecuali adanyaresusitasi cairan yang adekuat. Pasien pasien yang memperoleh pengobatan initropik atau vasopresor tidak menjadi hipotensi pada saat abnormalitas perfusi diukur. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40 mmHg dari base line pada keadaan tidak adanya penyebab lain dari hipotensi.

B.     PATOFISIOLOGI SEPSIS
Timbulnya sepsis menunjukkan bahwa telah terjadi penyebaran bakteri kedalam sirkulasi melalui daerah injury, infeksi nosoksomial dan proses translokasi kuman yang terutama terjadi didaerah mukosa oleh karena kebanyakan infeksi port de entrynya melalui mukosa. Mekanisme terjadinya sepsis merupakan proses yang sangat kompleks, dan melibatkan interaksi multi sistim yang terkait dengan inflamasi, respon imun dan perfusi seluler seperti : kaskade sitokin, kaskade pembekuan, sistem komplemen, cell mediated immunity dan respon imun humoral.
Kuman yang menyebabkan terjadinya sepsis akan melepaskan endotoksin yang dihasilkan oleh kuman gram negatif dan endotoksin oleh kuman gram positif yang didalam plasma akan berikatan dengan lipo- polysaccaride binding protein ( LBP). Kompleks dari ikatan tersebut akan berikatan dengan CD14 yang terdapat pada permukaan makrofag maupun monosit, sehingga sel –sel tersebut menjadi aktif. Aktivasi makrofag dan monosit akan mengakskresi sitokin pro-inflamasi, seperti : interleukin - ! ( IL-1) serta TNF α, dan secara klinis akan timbul gejala SIRS.
Apabila proses inflamasi makin berat maka akan dilepaskan mediator lainnya ( kaskade inflamasi ) oleh sel inflamasi, endotel, sistem komplemen akan dapat memperburuk hemodinamik, metabolisme serta kerusakan jaringan yang selannjutnya gangguan ekstraksi oksigen sampai terjadinya gejala disfungsi organ multipel ( MODS).
Pada saat yang sama tubuh akan mengembangkan mekanisme kendali yang mencegah penyebaran reaksi inflamasi, berupa pelepasan sitokin anti-inflamasi dan berbagai mediator yang dapat meredam reaksi inflamasi. Tujuan dari reaksi ini ( pro dan anti inflamasi ) adalah untuk mengatasi agen penyebab, mendorong penyembuhan kerusakan jaringan, serta mencegah perluasan reaksi yang membahayakan tibuh. Reaksi ini merupakan reaksi fisiologik yang harus dimiliki oleh setiap orang. Pada sepsis, mekanisme ini tidak terkendali sehingga berbagai sitokin dan mediator menyebar secara sistemik, yang dapat menimbulkan kerusakan pada tempat yang jauh dari sumber infeksi.

C.    EPIDEMIOLOGI
Dari studi epidemiologis yang dilakukan Martin et al (2003), menunjukan bahwa di Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 (22 tahun) dilaporkan terdapat 10.319.418 kasus sepsis (merupakan    1,3 % dari semua kasus rawat inap). Jumlah pasien sepsis yang dirawat setiap tahun meningkat dari 164.072 pada tahun 1979 menjadi 659.935 pada tahun 2000 (meningkat 13,7% per tahun). Karakteristik demografi dan kondisi yang menyertai pada populasi pasien sepsis dari masing-masing subperiode dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Usia rata-rata pasien sepsis meningkat dari 57, 4 tahun pada subperiode pertama menjadi 60,8 tahun pada subperiode terakhir. Usia rata-rata pasien wanita yang terkena sepsis adalah 62,1 tahun sedangkan pada pria adalah 56,9 tahun.
            Dari penelitian ini juga diketahui bahwa dari tahun 1979 sampai 1987, bakteri penyebab sepsis yang dominan adalah bakteri Gram negatif, sedangkan pada subperiode berikutnya adalah bakteri Gram positif. Diantara mikroba yang menyebabkan sepsis pada tahun 2000, bakteri Gram positif merupakan 52,1% kasus, sedangkan bakteri Gram negatif 37,6%, infeksi polimikroba 4,7%, anaerob 1% dan infeksi jamur 4,6%.
            Selama penelitian tersebut, didapat angka kematian akibat sepsis rata-rata adalah 27,8% pada subperiode pertama dan menurun menjadi 17,9% pada subperiode terakhir. Proprosi pasien sepsis yang mengalami kegagalan organ, suatu petanda keparahan sepsis, meningkat dari 19,1% pada 11 tahun pertama menjadi 30,2% pada tahun-tahun terakhir. Kegagalan organ terjadi pada 33,6% pasien selama subperiode terakhir (1995 – 2000). Kegagalan organ juga mempengaruhi angka mortalitas: kurang lebih 15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal dunia, sementara 70% pasien dengan kegagalan 3 organ atau lebih meninggal dunia. Organ yang paling sering mengalami kegagalan adalah paru-paru (18%) dan ginjal (15%); sedangkan yang lebih jarang adalah kegagalan kardiovaskular (7%), kegagalan hematologis (7%), kegagalan metabolik (7%) dan kegagalan neurologis (2%).

D.    FAKTOR PREDISPOSISI
·         Infeksi : saluran nafas, urogenital, kulit dan jaringan lunak, selanjutnya disebut sepsis
·         Imunitas terganggu : keganasan, terapi radiasi, terapi hormonal
·         Prosedur invasive : tindakan pembedahan, kateter urine, jalur intravena (IV)

E.     FAKTOR RESIKO
1.      Menurunnya sistim pertahanan tubuh
a.       Menurunnya sistim retikuloendotelial
b.      Gangguan cell mediated immunity
c.       Defek sistim imunitas seluler
2.      Tindakan invasive yang dilakukan pada penderita seperti : intubasi endotrakeal,kanulasi pada vena serta arteri,insersi pipa nasogastrik, urine kateter, pembedahan dll
3.      Pemakaian antimikroba yang tidak tepat seperti golongan betalaktam yang ditenggarai menyebabkan lepasnya endotoksin kedalam plasma akibat hancur atau lisisnya kuman gram negatif, yamg dapat mencetuskan sepsis.

F.     MANIFESTASI KLINIK
Syok terjadi bila perfusi jaringan tidak adekuat dan berakhir pada disfungsi sel dan seringkali berakhir dengan kematian sel, bila berlanjut terlalu lama. Organ yang sering terlibat seperti jantung, paru – paru, ginjal, hati, SSP, dan sistim koagulasi. Pada kehamilan, uterus dan fetus dapat terlibat. Prognosis semakin buruk dengan semakin banyaknya organ yang terlibat. Kematian sering kali menyertai kegagalan satu atau lebih sistim organ yang terlibat atau hipotensi yang tidak teratasi
Perubahan hemodinamik pada syok septik berbeda dengan penyebab syok yang lain : kardiogenik, obstuksi vaskuler, dan hipovolemia. Pada syok septik, resistensi vaskuler sistemik (SVR) meningkat sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah, dan perbedaan oksigen aretiovenosa meningkat, mencerminkan pengambilan oksigen sistemik oleh jaringan hipoperfusi. Perubahan hemodinamik yang dihasilkan oleh sepsis atau syik septik lebih kompleks dan secara klasik dibadi menjadi 3 fase, yaitu:
1. Syok awal (panas)
2. Syok lanjut ( dingin)
3. Syok sekunder ( irreversibel)
Fase pertama menunjukan terjadinya sustu sindrom syok hiperdinamik dengan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan meningkatnya cardiac output ( syok panas). Onset sepsis didahului oleh hipovolemia, disertai dilatasi kombinasi arteri dan vena dan keluarnya plasma kedalam ruang ekstravaskuler akibat kerusakan endotelial. Bila keadaan hipovolemia ini diobati, pasien akan mempunyai SVR yang rendah, peningkatan cardiac output, takikardia dan menurunnya perbedaan oksigen arterivenosa. Vasodilatasi merupakan hasil dari pelepasan sitokin, bradikinin, histamin, dan prostaglandin. Meskipun terdapat peningkatan cardiac uotput, terutama peningkatan denyut jantung, fungsi ventrikrl ditekan oleh faktor penekan myokardial sirkulasi. Keadaan ini menyebabkan penekanan fraksi ejeksi dan dilatasi ventrikel. Akhirnya penurunan perbedaanoksigen arteriovenosa sebagai akibat penurunan penggunaan oksigen perifer. Keadaan ini merupakan hasil maldistribusi aliran darah (oksigen) ke jaringan dengan perkembangan terjadinya laktat asidosis.
Fase dingin dari syok septik secara klasik ditandai oleh penurunan volume sekuncup sebagai akibat menungkatnya SVR dan semakin memburuknya disfungsi miokardial. Peningkatan SVR sebagai akibat vasokonstriksi berat disebabkan oleh katekolamin sirkulasi dan prostaglandin vasoaktif( tromboksan). Meskipun kebanyakan pasien mengalami penurunan SVR, tanda klinik syok dingin terjadi akibat penurunan volume sekuncup, akumulasi asam laktat, hipovolemia persisten, dan insuffisiensi mikrovaskuler. Pada fase ini perfusi jaringa tidak adekuat dan tidak berrespon terhadap cairan bolus, sehingga obat-obatan inotropik dan vasoaktif diperlukan untuk mempertahankantekanan darah yang adekuat.
Fase akhir dari syok menunjukkan semakin buruknya hipotensi yang tidak berrespon terhadap terapi konvensional dengan cairan dan obat-obatan inotropik atau vasoaktif. Berkembangnya kerusakan organ target yang bersifat irreversibel terjadi selama fase ini.

G.    TANDA DAN GEJALA KLINIK
Dimulai dari peningkatan tempratur akibat bakterinemia dengan tanda klinis awal sepsis sebagai presyok :
·         Takipneu dan respiratori alkalosis
·         Hiperdinamik mulai tampak ditandai dengan peningkatan volume sekuncup dan peningkatan SVR tanpa perubahan tekanan darah.
Syok awal ditandai dengan dengan keadaan hiperdinamik dengan hipotensi dan tekanan darah sistolik < 60 – 90 mmHg atau terjadi penurunan ≥ 40 mmHg dari semula.
Gejala awal seringkali berupa perasaan cemas, bingung, dan disorientasi. Tanda klinik lain selama fase ini meliputi instabilitas temperatur,perasaan panas dan vasodilatasi perifer. Dengan perkembangan kearah syok lanjut, terjadi hipotensi, kulit yang dingin dan lembab, hipoksemia,oligouria, dan memburuknya keadaan mental. Selama perioda syok awal, tanda dari kerusakan organ target dapat terlihat dan keadaan ini dapat memburuk menjadi syok lanjut.

H.    DIAGNOSIS
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada wanita – wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik ( syok panas atau dingin ) dan tipe kerusakan organ yang terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan tempratur dan lekosit dengan pergeseranke kiri, tetapi pada beberapa wanita terjadi penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.
Karena sebanyak 25 % wanita dapat mengalami ARDS dengan kegagalan respirasi. ARDS merupakan gagal pernafasan mendadak tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnnya. Faktor predisposisi yang mendasari dapat berupa sepsis, perdarahan, ruda paksa paru atau bagian tubuh lain, pankreatitis, aspirasi airan lambung dll.
Dokter perlu mengamati tanda terjadinya distres pernafasan, hipoksemia, dan tanda memburuknya hipoksemia. Pada awal sepsis pasien menunjukkan respirasi alkalosis akibat hiperventilasi. Dengan memburuknya sepsis, terjadi respirasi asidosis sebagai akibat dari pengumpulan asam laktat yang berasal dari metabolisme anaerobik sel. Kadar asam laktat berhubungan dengan derajat hipoksia organ, dan meningkatnya kadar asam laktat mencerminkan memburuknya prognosis dan dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pengobatan.
Dalam hal membantu menegakkan diagnose sepsis stau syok septik, selain melalui pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Pemeriksaan fisik pasien obstetrik difukuskan pada sistem genitourinaria, gastrointestinal, respirasi dan luka – luka seperti luka operasi, epiostomi dan lain – lain. Kemungkinan fokus infeksi pada wanita post partum meliputi sisa hasil konsepsi, mikroabses uterus, abses pelvis, infeksi luka, dan trombosis pelvis. Sedikitnya diperlukan 2 bahan kultur darah yang berbeda. Sensitivitas kultur tunggal untuk bakterimia adalah 80 %, dua bahan 89 % dan 3 bahan99%. Dua kuman yang sangat virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.

I.       PENATALAKSANAAN SEPSIS
Bila sepsis kecurigaan sudah cukup kuat ke arah sepsis, maka beberap tes harus dilakukan segera dan pemberian antibiotic perlu dilakukan segera. Antibiotik dilanjutkan sampai hasil ada hasil biakan dan respon klinis terhadap intervensi dievaluasi. Mula-mula, infeksi diterapi empiris dengan antibiotik spektrum luas seperti penisilin dan aminoglikosida untuk mencakup organisme-organisme Gram-positif dan Gram-negatif. Ketika organisme penyebab telah diidentifikasi, antibiotik tadi mungkin perlu diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
Beberapa golongan antibiotik yang biasanya dipakai untuk sindrom sepsis neonatorum antara lain adalah: ampicillin, gentamicin, cefotaxime, vancomycin, metronidazole, erythromycin, dan piperacillin. Pilihan antibiotik harus didasarkan pada organisme yang bersangkutan dengan sepsis tersebut, sensitifitas agen bakterial, serta harus mencegah tren infeksi naosokomial pada bayi. Perlu diingat bahwa infeksi virus juga dapat menyerupai infeksi bakteri.
Kategori Obat: Antibiotik – Terapi antimikroba secara empiris Empiric antimicrobial harus cukup luas dan sebaiknya mencakup semua pathogen yang mungkin pada konteks gambaran klinis.
Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :
1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik

1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a.  Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).
b.  Ekspansi cairan
Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.
c.  Inotropik
Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.
d.  Transfusi darah
Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.
e.  Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprusid.
f.  Vasokonstriktor
Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
Hal ini dapat dicapai dengan :
a.  Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :
1. Meminimalkan trauma lebih lanjut
2. Debridemen yang agresif
3. Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
4. “second-look procedure”
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.
b. Modifikasi respon stress hormonal
  Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.
c.  Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan. Adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic
Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.
Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :
·         Paru-paru
o   ARDS karena infeksi nosokomial
o   Pneumonia nosokomial
o   Barotrauma
o   Keracunan O2
o   Hipervolemia
·         Usus
o   Cedera karena infeksi / endotoksin
o   Malnutrisi
o   Keracunan obat
o   Kolitis pseudomembran
o   Hipovolemia
·         Hati
o   Cedera karena infeksi / endotoksin
o   Overfeeding
o   Keracunan obat
·         Ginjal
o   Cedera karena infeksi / endotoksin
o   Keracunan obat
o   Hipovolemia
o   Sistemik
o   Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat

Modalitas Terapi Baru
Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.
Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra atau antagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.  
 Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung. Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator menggunakan cara plasmapheresis (PE).























DAFTAR PUSTAKA

Setiyohadi, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Hermawan A.G. 2007. Sepsis dalam Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar