HIPERBILIRUBIN
A. DEFENISI HIPERBILIRUBIN
Hiperbilirubin
adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir, yang dimaksud dengan
ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah meningginya kadar bilirubin di
dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi perubahaan warna menjadi kuning
pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya. (Ngastiyah, 2000) Nilai
normal: bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Hiperbilirubin
adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari
normal (Suriadi, 2001). Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar
bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah
berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon,
1998)
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana
terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat
menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata,
kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan
kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan
bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
B. METABOLISME BILIRUBIN
75%
dari bilirubin yang ada pada BBL yang berasal dari penghancuran hemoglobin, dan
25% dari mioglobin, sitokrom, katalase dan tritofan pirolase. satu gram
bilirubin yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin .bayi cukup bulan akan
menghancurkan eritrosit sebanyak satu gram/hari dalam bentuk bilirubin indirek
yang terikat dengan albumin bebas (1 gram albumin akan mengikat 16 mg
bilirubin). Bilirubin indirek larut dalam lemak dan bila sawar otak terbuka,
bilirubin akan masuk kedalam otak dan terjadilah kernikterus. yang memudahkan
terjadinya hal tersebut ialah imaturitas, asfiksia/hipoksia, trauma lahir, BBLR
(kurang dari 2500 gram), infeksi, hipoglikemia, hiperkarbia.didalam hepar
bilirubin akan diikat oleh enzim glucuronil transverse menjadi bilirubin direk
yang larut dalam air, kemudian diekskresi kesistem empedu, selanjutnya masuk
kedalam usus dan menjadi sterkobilin. sebagian di serap kembali dan keluar
melalui urin sebagai urobilinogen.
Pada
BBL bilirubin direk dapat di ubah menjadi bilirubin indirek didalam usus karena
disini terdapat beta-glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan
tersebut. bilirubin indirek ini diserap kembali oleh usus selanjutnya masuk
kembali ke hati (inilah siklus enterohepatik).
Keadaan
ikterus di pengaruhi oleh :
a) Faktor produksi yang berlebihan melampaui pengeluaran nya
terdapat pada hemolisis yang meningkat seperti pada ketidakcocokan golongan darah
(Rh, ABO antagonis,defisiensi G-6-PD dan sebagai nya).
b) Gangguan dalam uptake dan konjugasi hepar di sebabkan
imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi (mengubah) bilirubin,
gangguan fungsi hepar akibat asidosis,hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapat
enzim glukuronil transferase (G-6-PD).
c) Gangguan tranportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian di angkut oleh hepar. Ikatan ini dapat di pengaruhi oleh obat seperti
salisilat dan lain-lain. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat pada otak (terjadi
krenikterus).
d) Gangguan dalam ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau di
luar hepar. Akibat kelainan bawaan atau infeksi, atau kerusakan hepar oleh penyebab
lain.
C. KLASIFIKASI
Terdapat 2 jenis ikterus
yaitu yang fisiologis dan patologis.
Ikterus fisiologi
Ikterus
fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta
tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena
ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1.
Timbul pada hari kedua dan ketiga
2.
Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
3.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4.
Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5.
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6.
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
Ikterus Patologis
Ikterus
patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya
sebagai berikut:
1.
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
3.
Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4.
Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5.
Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6.
Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Penyebab
ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu :
1. Pembentukan bilirubin
yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan
(uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
3. Gangguan konjugasi
bilirubin.
4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel
darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena
adanya perdarahan tertutup.
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah
merah seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
7. Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri
ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
8. Produksi yang berlebihan
Hal
ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang
meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
9. Gangguan proses “uptake”
dan konjugasi hepar.
Gangguan
ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar)
penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.
10. Gangguan
transportasi.
Bilirubin
dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan
sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
11. Gangguan dalam
ekskresi.
Gangguan
ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Faktor resiko terjadinya
hiperbilirubin antara lain:
Faktor Maternal
_
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
_
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
_
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
_
ASI
Faktor Perinatal
_
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
_
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
Faktor Neonatus
_
Prematuritas
_
Faktor genetic
_
Polisitemia
_
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
_
Rendahnya asupan ASI
_
Hipoglikemia
_
Hipoalbuminemia
E. MANIFESTASI KLINIS
Bayi
baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan
ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau
kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.
Gambaran
klinis ikterus fisiologis:
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat(normal)
c) Kadar bilirubin total <12mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko
f) Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi
fisiologis)(Sarwono et al, 1994)
Gambaran klinik ikterus
patologis:
a) Timbul pada umur
<36 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari
2 minggu
e) Ada faktor resiko
f) Dasar: proses
patologis (Sarwono et al, 1994)
Menurut Surasmi (2003)
gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama
kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan
yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang
selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan
atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia
dentalis).
Sedangakan menurut
Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane
mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai
sekitar 40 µmol/l.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi
yang dapat ditimbulkan penyakit ini yaitu terjadi kern ikterus yaitu keruskan
otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala
klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap,
letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu (involuntary movements),
kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus. Selain itu
dapat juga terjadi Infeksi/sepsis, peritonitis, pneumonia.
G. PATOFISIOLOGI
Bilirubin
adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari penguraian
hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari
heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme
untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang
tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut
dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati
,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan
mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam
bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh
bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi
sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi
dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke
hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk
kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke
ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.
Pada
dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa
bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul
ikterus bila kadarnya >7mg/dl.
Hiperbilirubinemia
dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal
untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah
dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa
ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini
disebut ikterus atau jaundice.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bilirubin serum
a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl
antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak
fisiologis.
b. Pada bayi premature,
kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar
bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan
untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada
pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
3. Ultrasonografi
Digunakan
untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan
untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk
membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
5. Peritoneoskopi
Dilakukan
untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan
pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
6. Laparatomi
Dilakukan
untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan
pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini
I. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan
pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan
mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi
Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan
Serum Albumin
4. Menurunkan Serum
Bilirubin
Metode
therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti,
Infus, Albumin dan Therapi Obat.
Fototherapi
Fototherapi
dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi
( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan
menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan
cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi
jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi
dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke
pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan
dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu
dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi
oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi
mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg /
dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi
Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi
Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir
Rendah.
Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau
Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih
dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis
berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis
pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk
lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari
12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops
saat lahir.
9. Bayi pada resiko
terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti
digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel
darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum
Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dengan Bilirubin
Pada
Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2
hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A
dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
Therapi Obat
Phenobarbital
dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil
untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya
(letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. .
Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: EGC.
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: EGC.
Repository. usu. ac. id/
bitstream /123456789/37957/4/Chapter II.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar